Sabtu, 26 Juli 2014

KARYA SAMPAH

   Sampah Pembuangan
      Semua berasal dari ketika Negara api menyerang eh,,,, ssalah biasa aj deh pokoknya ini tentang gw nama gw Muhammad anto pangil aj anto klo pakai Muhammad berat udah anto aj nama yg ndeso biasa dan gk fariatif, gw bukan seorang penulis handalatau cerpenis apa lagi novelist gw cuma penulis asal asasl nulis asal baca tp gw punya semangat tekat keyakinan harapan kawan-kawan yang selalu menemani gw sampai akhir .dan sekarng semua harapan gw musna seperti sampah pembuangan di buang dan gak di pikirkan hilang tak tersisa karna kebodohan dan kecerobohan
      
       berawal dari gw SMA dan ngekost di sebuah perumahan di Jakarta .........

 
 

Senin, 14 Juli 2014

tak usah ajarkan kami puasa


          Hari ke tiga di bulan ramadhan saya berkesempatan menumpang becak menuju rumah ibu. Sore itu, tak biasanya udara begitu segar, angin lembut menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama, keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, "Abang becak ...?"
Ya, kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisang goreng di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. "Heeh, puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan ...," gumamku.
Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya, dan ... untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang tengah berpuasa.
"mmm ..., Abang muslim bukan? tanyaku ragu-ragu.
"Ya dik, saya muslim ..." jawabnya terengah sambil terus mengayuh
"Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan. Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa ..." deras aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.
Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.
"Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak. Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng ini pun makanan pertama abang sejak tiga hari ini."
Tanpa memberikan kesempatan ku untuk memotongnya,
"Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak asing lagi dengan puasa," jelas abang tukang becak itu.
"Maksud abang?" mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.
"Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka. Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya ..."
"Jadi ...," belum sempat kuteruskan kalimatku,
"Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan ..."
"Abang sejak siang tadi bingung dik mau makan dua potong pisang goreng ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang yang berpuasa, tapi..." kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya di tempat tujuan.
Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya. Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan berputar ...
Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan kepedulian saya?
"Wah, nggak ada kembaliannya dik..."
"hmm, simpan saja buat sahur abang besok ya ..."
Saya jadi teringat seorang teman di Kelompok Kerja Sosial Melati, ia punya motto hidup yang sederhana,

"Kami Peduli".

mutiara keringat

embun pagi menari saat daun bernyanyi.
mata terbakar oleh mentari yang liar.
awan melamun arti merindu.
jauh terasa dekat terjilat.
itulah ibu di mata anak.

pahlawan tanpa nama
selalu bekerja dengan upah senyuman
tak ingin menyusahkan
tak ingin melepaskan
hanya kata yang diberi padanya.

anak manja yang terlahir dari keringat
rela melihat ibu yang ikhlas menjadi pembantu fi rumahnya sendiri
tak tahu malu dan tak sadar tlah berlalu.

saat ia sadar
ibu bersandar
ibu tertidur

tanpa sesal terkubur